sambutan hangat

Selamat datang diblog ga' penting yg pernah ada, jangan bunuh penulisnya karena monyet hewan yg dilindungi

Senin, 13 Mei 2013

finally, it's done!

halo pembaca blognya fitrah yang masih setia baca blog ini walaupun aku tau udah banyak berkurang sejak post terakhirnya fitrah kemaren, Alam lagi disini ~
tujuanku ngepost cuma buat nepatin janjiku ke fitrah, yaitu ngepost tugas cerpenku. Beda ama cerpennya fitrah, cerpenku galau kuadrat, kenapa galau? soalnya pas bikin ini suasana hati masih diliputi galau kronis*curcol*
So, here is my story, mohon maaf apabila ada kesamaan nama atau mungkin mirip - mirip dikit :p




CASANOVA


  Dering telepon genggam membangunkanku dari mimpi indah pagi itu, yang ternyata akan menjadi hari paling penting dalam hidupku. Terlihat tulisan ''pesan dari : Ananda Mova Firdausa'' di layar hp ku, kukira isinya penting, ternyata hanya ucapan selamat pagi. Saat ku akan membalas pesan, tiba - tiba teleponku berdering lagi karena ada pesan lain. ''pesan dari : Nadialena Ramadhana'' dan isinya juga sama dengan pesan tadi, saat ku akan membalas pesan kedua orang ini, kejadian yang sama terulang lagi, bahkan lebih parah karena ada puluhan pesan yang isinya menyatakan hal yang sama, yaitu ucapan selamat pagi. Pagi tenang ini berubah menjadi mimpi buruk yang parahnya terus terulang setiap pekan di hidupku.
  Mungkin pepatah tua itu benar. Nama adalah doa. Tapi aku tidak tahu apa doa yang orang tuaku inginkan dengan memberi nama ini kepadaku. Giacomo Casanova, seorang laki - laki biasa yang hidup di Italia beberapa abad lalu, pernah menggemparkan dunia dengan kisah hidupnya yang telah menaklukkan ratusan wanita, mulai dari putri raja hingga wanita tuna susila. Dan rupanya orang tuaku ingin mengulangi kisah itu dengan menamai aku, anaknya sendiri dengan nama yang sama dengan orang itu. Benar saja, sejak umurku 13 tahun, mulai banyak wanita tidak jelas yang mendekatiku, padahal aku hanya orang biasa, tidak punya kekayaan berlebih, apalagi ketampanan, yang kumiliki hanyalah kata - kata indah dan pujian yang memang pantas dikatakan untuk seorang wanita. Tapi tetap saja, hingga umurku yang ke tujuh belas ini, masih saja banyak wanita yang menyukaiku, tapi entah mengapa, hanya ada dua wanita yang bisa membekas dihatiku.
  Nadia dan Firda, dua wanita semi jenius yang belakangan ini mengisi celah hatiku. Aku tidak tahu kenapa takdir mempertemukanku dengan mereka berdua. Firda adalah teman lamaku di sekolah dasar. Dia tipikal orang yang terlalu banyak mempelajari ilmu eksak. Tapi terkadang kata - katanya dapat membuatku terkagum - kagum. Berbeda dengan Nadia. Nadia adalah teman waktu SMP dulu, Dia adalah tipe orang yang terlalu banyak membaca novel. Entah itu novel cinta, misteri, bahkan novel detektif sekalipun. Tidak terhitung jumlah novel yang telah dibeli olehnya. Memang kedua wanita ini berbeda, tetapi mereka memiliki persamaan mendasar, yaitu pola pikir mereka yang sudah kebal terhadap kata - kata indah seorang lelaki. Dan mungkin hal itulah yang membuatku semakin tertarik dengan mereka.
  Saat ku akan melanjutkan lamunanku tentang mereka, telpon masuk menggangguku, ternyata itu dari temanku, Rico. "cie yang dari pagi udah di sms banyak orang" Kata - kata itu membuatku bosan karena setiap minggu pasti ia mengatakan salam yang sama "azz, ada apa pagi - pagi telpon?"
"kan sekarang hari Minggu, ayo pergi jalan - jalan!"
"iya iya, enaknya ngajak Firda apa Nadia?"
"terserahlah, aku tunggu jam sepuluh di tempat biasanya"
"oke"
  Begitu menutup pembicaraanku dengan Rico, pikiranku mulai terganggu dengan pilihan yang semakin membingungkan ini, Nadia atau Firda? Tak ingin terus terganggu dengan hal itu, langsung saja kuajak Firda karena aku tahu kebiasaan Nadia di hari Minggu yaitu pergi ke toko buku untuk mencari novel baru, dan akupun tidak bisa mengganggunya saat ia melaksanakan kebiasaannya itu.
Ini sudah jam setengah sebelas, dan aku masih belum melihat tanda - tanda datangnya Rico, aku merasa malu pada Firda karena harus membuatnya menunggu selama ini, tiba - tiba ia bertanya kepadaku, "masih lama ya?"
"mmm nggak tahu juga, maaf ya bikin kamu nunggu"
"ah biasa kok hehe"
"tapi kan laki - laki nggak boleh buat wanita nunggu, apa lagi selama ini"
"kalau hanya raga ini yang menunggu tidak apa - apa, yang paling menyakitkan jika hati ini yang dipaksa menunggu kepastian yang tak kunjung datang dari seseorang, rasa sakit tak terkira pasti akan terasa, sekuat apapun wanita itu"
  Tidak kuduga jika dia akan mengatakan hal itu, apakah itu jeritan hatinya? Atau itu hanya sekedar kata puitis lain yang jarang ia ucapkan? Mungkin hanya itu yang dapat kupikirkan saat ini, aku tidak dapat berpikir dengan jernih saat ini. Tiba - tiba klakson sepeda motor mengagetkanku, ternyata Rico baru datang, tanpa rasa bersalah dia bilang sepedanya mogok sehingga perjalanannya terganggu. Klise sekali jika mendengar Rico yang mengatakan hal itu.
  Tanpa banyak bicara lagi, kami langsung berangkat. Perhentian pertama kami adalah toko konsol game, rupanya tujuan Rico mengajakku karena dia tahu aku sangat cermat dalam mengamati segala sesuatu yang berhubungan dengan game dan benda elektronik. Dan terbukti, begitu sampai disana, Rico langsung memintaku untuk memilihkan sebuah Nintendo 3DS untuknya, langsung saja ku melihat - lihat stok barang yang tersedia, hanya dalam waktu 5 menit sebuah Nintendo 3DS berwarna biru muda menarik perhatianku, karena heran, Rico bertanya kepadaku, "kenapa biru muda?"
"biru muda itu warna kesukaan Nadia, tapi jangan bilang Firda"
"oke bos!"
  Setelah membeli konsol baru untuk Rico, dia mengajakku ke tempat lain, rupanya Rico mengajakku mencari game yang pas untuk konsol barunya itu, langsung saja aku mengusulkan kepadanya untuk mencari tipe game strategi, rupanya Rico keheranan lagi melihat seleraku yang aneh. "kenapa strategi?"
"permainan strategi dapat mengasah otak kiri dan otak kanan, sekaligus mengubah pola pikirmu, mungkin suatu saat kamu bisa jadi penerus Casanova, hehe"
"seribu tahun lagi"
"apanya?"
"jadi penerus casanova"
"kamu nggak perlu apa - apa kok buat jadi penerus casanova, yang penting perhatian hehehe"
"tapi itu nggak semudah yang kamu omong!"
"ahh sudahlah"
  Sekarang sudah pukul dua belas tepat, Rico mengajakku makan, dan aku tersadar, kalau dari tadi aku mengacuhkan wanita yang dari tadi berada di sampingku, dia diam saja dari tadi, perasaan bersalah menghampiriku, karena dia tidak mengucapkan sepatah katapun sejak tadi, untuk menebus kesalahanku, aku mengajaknya makan di tempat biasanya aku dan Nadia makan, aku tidak tahu kenapa memilih tempat ini, padahal aku selalu mendapat firasat buruk jika makan disini, tapi tetap saja egoku bersikeras ingin makan disini.
  setelah memesan makanan, firasat burukku terbukti. Aku melihat Nadia sedang makan di meja lain di belakangku, Aku berusaha tetap tenang dan makan seperti biasanya, rupanya Rico menyadari kegelisahanku karena dia juga tahu kalau Nadia ada dibelakangku. 
   setelah makan, kami bertiga segera beranjak pergi, dan tak diduga - duga, Nadia tidak sengaja menabrakku saat ia juga akan pergi, "eh maaf ya.... Casanova? Kok kamu disini? Dan dia siapa?" 
"Casanova, dia siapa?!"
"jadi selama ini bukan cuma aku?!"
"jadi ini alasanmu gantung aku?!"
"lebih baik aku pergi!"
"aku nggak punya alasan disini lagi, aku pergi"
"tapi Nad!! Fir!!" mereka tak menggubris teriakanku. Mereka pergi dalam sekejap mata, meninggalkakanku dan Rico disini.
  Rico mencoba menenangkanku, tapi tetap saja, hatiku sakit saat mereka berdua, orang yang paling kucintai, pergi begitu saja karena keegoisanku tidak bisa memilih diantara mereka berdua. Mengetahui keadaan hatiku yang seperti itu, Rico mengajakku pulang, dengan terpaksa, aku mengiyakan ajakannya. Siang itu menjadi hari paling penting untukku dan membentuk kepribadianku seperti ini
  Begitu pulang, Rico berkata kepadaku, "mungkin ini doa orang tuamu untukmu" 
"apa? nggak punya pacar?"
"bukan, tapi setia, bijaksana, dan nggak serakah, hahaha" 
"azzz"
  walaupun terdengar seperti mengada - ada, tapi jika dipikir - pikir Rico benar, mungkin orang tuaku menamaiku dengan nama ini karena mereka tahu hidupku akan jadi seperti ini, dan hingga mereka telah tiada kini, pasti mereka akan melihatku dari atas sana, sambil berharap kalau doa mereka terkabulkan
  sekarang, aku sudah tidak seperti dulu lagi, aku cenderung diam atau bersikap dingin kepada seorang wanita, karena takut hal yang sama akan terulang lagi. Firda dan Nadia tidak pernah menghubungiku lagi, dan aku lebih senang menikmati kesendirianku, ya, kesendirian yang setia menemaniku.